DIDIRIKAN SANTRI PANGERAN DIPONEGORO 1850-AN SILAM

Radar Ponorogo (Kamis, 14 Juni 2018 Halaman 23-24)

DIDIRIKAN SANTRI PANGERAN DIPONEGORO 1850-AN SILAM

Jejak Santri Laskar Pangeran Diponegoro di Ponorogo
(Kyai Mukrim Abdullah menunjukkan foto bangunan asli sebelum direhabilitasi ketiga kalinya)

SERUPA Jejak di pesantren lainnya, sebuah pohon sawo tua masih berdiri kokoh di Pondok Pesantren Al Bukhori Mangunan. Rindang pohon besar itu berdiri persis di depan masjid ]


(Jejak perjuangan Pangeran Diponegoro banyak terserak di bumi Ponorogo. Salah satunya terletak di Ponpes Al Bukhori. Ya, pendirian pesantren di Dusun Mangunan, Desa Tulung, Kecamatan Sampung, pada 1850-an silam memiliki keterkaitan sejarah dengan pejuang besar di masa lalu). (Hal-23)

(Hal 24) - Menara di selatannya, dahulunya bekas sumur tua yang kini telah di tutup. Berjalan menyusuri pelataran menuju utara, terlihat bangunan joglo lawas. Itu ndalem Kiai Mukrim Abdullah, generasi keempat pengasuh pesantren ini. Radar Ponorogo langsung mengetuk pintu di siang itu. Beberapa kali tidak ada jawaban, kami kembali ke masjid diantar salah seorang pengurus pesantren. Hawa adem di pesantren itu membuat siapa saja ingin berlama-lama menghabiskan waktu. Selang beberapa menit, datang putri kiai menghampiri kami. Setelah membuka obrolan pembuka, kami diperkenankan masuk rumah pengasuh. “silahkan masuk, abah sebentar lagi datang,” sambut putri Kiai Mukrim Abdullah.

Ponpes Al Bukhori didirikan KH Bukhori. Ulama masyhur sekaligus tokoh yang babat daerah setempat, 1850 silam. KH Bukhori merupakan pendatang dari Daerah Begelan, pusat pemerintahan Kabupaten Purworejo Jawa Tengah. Saat penjajahan bergejolak pada tahun 1825-1830, Pangeran Diponegoro tertangkap setelah terjebak tipu muslihat Belanda. Para santrinya pun langsung menyelamatkan diri sendiri. Salah satunya KH Bukhori yang melarikan diri ke arah timur dengan berjalan kaki. Dia mendengar di Ponorogo sebelah barat terdapat sebuah pesantren. Di sanalah dia menjadikan tujuan setelah menempuh perjalanan panjang. Di tempat tujuan, dia bertemu dengan K. Minhad atau KH. Abdul Minhad Al Muhyi. Karena kealiman dan budi pekertinya, dia pun mendapat sambutan hangat. Selang beberapa waktu KH Bukhori di angkat menantu oleh Kiai Minhad yang dijodohkan dengan Siti Khodijah. “cerita itu diturunkan dari generasi ke generasi sampai turun ke saya”, kata Kiai Mukrim Abdullah.

Siti Khodijah merupakan generasi ketiga atau cucu Sultan Agung Mataram Solo. Dia merupakan putri pertama dari tiga bersaudara hasil perkawinan Kiai Minhad dengan Nyai Siti Ngaisah yang merupakan generasi ke dua dari atau anak Sultan Agung Mataram. Singkat cerita, kompleks pesantren ludes terbakar tanpa sebab yang diketahui. Itulah yang mengharuskan KH. Bukhori mencari tempat baru untuk babat mendirikan masjid dan pesantren. Nyai Siti Khodijah menyarankan suaminya mencari daerah yang berada di pinggir aliran sungai. Akhirnya KH. Bukhori menemukan tempat yang sesuai dan memulai membangun masjid yang pelatarannya di tanam pohon sawo. Pohon itulah yang menjadi ciri khas jaringan santri Pangeran Diponegoro. “di sini nama sebenarnya nama desa bukan Mangunan, melainkan Tulung. Tapi orang lebih kenal Mangunan karena ada sejarah panjang dari penamaan itu,” tuturnya.
 
Awalnya, KH. Bukhori mendirikan masjid sekaligus babat daerah setempat. Bangunan masjid awalnya tidak seperti sekarang yang sudah mengalami renovasi ketiga kalinya pada 1980-an. Dahulu, bangunan masjid tingginya hingga dua meter untuk antisipasi banjir. Seiring berjalannya waktu pendatang mulai berdatangan dan berempat tinggal di wilayah tersebut. Pun mereka dibimbing ilmu agama oleh KH. Bukhori di masjid. Hingga akhirnya berdirilah pondok pesantren yang sudah berumur 168 tahun itu. Kiai Bukhori dikenal sebagai ulama yang kalem dan sabar. Berkebalikan dengan Nyai Khodijah yang dikenal memiliki watak keras tapi penyayang. Pernah suatu ketika rumahnya disatroni maling. Nyai Khodijah yang mengetahui langsung teriak mengejarnya. Kyai Bukhori yang sedang duduk di ruang depan justru membukakan pintu rumahnya agar maling itu bebas melenggang kabur, “ada silsilahnya, mulai dari Sultan Agung Mataram hingga turun ke generasi saya,” pungkasnya.*** (cl/fin)


Oleh: Divisi SDM dan Pengembangan Pimpinan Cabang (PC) GASMI Ponorogo

Sumber: Jawa Pos Radar Ponorogo (Kamis, 14 Juni 2018)

Komentar

PAGAR NUSA GASMI CABANG PONOROGO

PAGAR NUSA GASMI CABANG PONOROGO

DARI "GASMA" HINGGA "GASMI" | Sepenggal Sejarah Masuknya GASMI di Kabupaten Ponorogo